Logo

ASN di Sepuluh Daerah Ini Tidak Netral dalam Pemilu

JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum- Bawaslu merilis sepuluh provinsi yang rawan netralitas aparatur sipil negara (ASN). Daerah rawan netralitas ini diharuskan memiliki upaya pencegahan yang tepat.

Anggota Bawaslu Lolly Suhenty menyebutkan derah tertinggi pertama yakni Maluku Utara (Malut), kedua, Sulawesi Utara (Sulut), dan ketiga Banten. Lalu, keempat Sulawesi Selatan (Sulsel), kelima Nusa Tenggara Timur (NTT), keenam Kalimantan Timur (Kaltim), ketujuh Jawa Barat, kedelapan Sumatera Barat (Sumbar), kesembilan Gorontalo, dan kesepuluh Lampung.

“Inilah posisi provinsi yang kerawanannya tinggi, maka pada sepuluh provinsi ini pastikan upaya pencegahannya tepat,” katanya saat membuka Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 Isu Strategis: Netralitas ASN di Manado, Kamis (21/9/2023).

Selanjutnya, di tingkat kabupaten/kota tercatat 20 daerah yang memiliki kerawanan tinggi diantaranya Kabupaten Siau Tagulandang Biaro, Kabupaten Wakatobi, Kota Ternate, Kabupaten Sumba Timur, Kota Parepare, Kabupaten Bandung, Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Mamuju. Lalu, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Bulu Kumba, Kabupaten Maros, Kota Tomohon, Kabupaten Konawe Selatan, Kota Kotamobagu, Kabupaten Kediri, Kabupaten Konawe Utara, dan Kabupaten Poso.

Potensi kabupaten kota terawan selanjutnya yakni Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kota Banjarbaru, Kabupaten Dompu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Luwu Timur.

“Dua puluh kabupaten kota potensi rawan tertinggi ini, siapkan program pencegahan terbaik, siapkan upaya mitigasi risiko terkuat supaya tidak terjadi di 2024,” tegasnya.

Selanjutnya, sepuluh provinsi kerawanan tertinggi berdasarkan agregat kabupaten/kota yakni Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, NTB, Papua Selatan, Banten, dan Kalimantan Timur.

“Artinya di sepuluh provinsi ini tersebar di kabupaten kota dan masif terjadi di kabupaten/kota dengan skornya masing-masing,” ujarnya.

Lolly menjelaskan, pola pelanggaran netralitas ASN yang terjadi yakni mempromosikan calon tertentu, pernyataan dukungan secara terbuka di media sosial dan juga media lainnya. Lalu, penggunaan fasilitas negara untuk mendukung petahana, teridentifikasi dukungan dalam bentuk grup WhatsApp, dan terlibat secara aktif maupun pasif dalam kampanye calon.

“Paling banyak terjadi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah,” katanya.