Berita Nasional dan Lokal #KitoNian

Kekalutan dan Solusi Diskriminasi Harga Kelapa Sawit

Oleh : Nengsi Pakpahan

Ilustrasi @Ist

KELAPA SAWIT merupakan komoditas andalan dan memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. BPS mencatat perkebunan kelapa sawit menyumbang pada PDB 471 triliun rupiah. Pada lima tahun terakhir perluasan lahan perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan, pada tahun 2018 luas areal perkebunan mencapai 12,76 juta ha dengan produksi 36,59 juta ton CPO. Perluasan areal ini mendukung pembangunan ekonomi dengan menciptakan penyerapan ketenagakerjaan, industri kelapa sawit menyerap 16,2 juta tenaga kerja (Bapenas 2018).

Karena Indonesia memiliki potensi lahan untuk menanam kelapa sawit, Indonesia mempunyai kesempatan untuk meraih keberhasilan sebagai pengekspor minyak kelapa sawit ke berbagai belahan dunia, salah satunya adalah Uni Eropa. Hal ini terlihat dari keberhasilan berupa persentase. Uni Eropa menyatakan terdapat sebesar 16,35% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia ke dunia (UN Comtrade, 2018). Kuat lemahnya ekspor kelapa sawit menjadi tantangan sekaligus permasalahan serius untuk pemerintah Indonesia. Pemerintah perlu memperhatikan ekspor kelapa sawit dalam bentuk bahan mentah. Sampai sekarang, bahan mentah masih memiliki nilai ekonomis rendah. Hal ini akan menimbulkan fluktuatif harga kelapa sawit. Tentu, hal ini akan berpengaruh kehidupan masyarakat. Meskipun Indonesia sebagai produsen utama kelapa sawit, Indonesia belum memaksimalkan kestabilan harga kelapa sawit di dunia. Hal ini dikarenakan ketidakstabilan supply dan demand, kebijakan impor, cuaca dan harga kedelai.

Permasalahan yang dihadapi saat ini ialah terjadinya diskrimanasi harga kelapa sawit, semua bermula ketika Uni Eropa membuat regulasi Renewable Energi Directive II (RDE) yang memuat penggunaaan energy terbarukan pada periode 2020 hingga 2030. Lebih lanjut, Komisi dan Dewan Uni Eropa menjelaskan penggunaan produk kelapa sawit memiliki emisi tiga kali lebih besar daripada energi fosil, emisi tersebut berasal dari pembakaran dalam pengalihan fungsi lahan hutan, Uni Eropa dahulunya menganggap biodiesel sawit adalah jalan keluar dari energi tidak terbarukan, akan tetapi setelah melihat dari aspek lingkungan, Uni Eropa mencabut dukungan terhadap konsumsi biodiesel kelapa sawit. Selain itu, industri perkebunan kelapa sawit memicu masalah social, seperti terjadinya kasus rendahnya pemenuhan hak buruh kelapa sawit, mempekerjakan anak di bawah umur, dan kasus korupsi dilingkungan industri sawit.

Jika konsumsi biodiesel dilanjutkan, maka masalah social tersebut dikhawatirkan tetap berlanjut. Kemudian, ditinjau dari aspek lingkungan perkebunan kelapa sawit penyebab deforestasi di negara produsen kelapa sawit, salah satunya Indonesia beberapa tahun terakhir kebakaran hutan di berbagai provinsi meningkat dari tahun ke tahun, sekitar 194.757 hektare hutan di Indonesia terbakar tahun 2018.

Dengan permasalahan yang dihadapi tersebut perlunya campur tangan pemerintah yaitu sinergi antar kementerian untuk mencari solusi. Salah satunya mendorong pelaku industri untuk melakukan hilirisasi, sehingga Indonesia tidak hanya mengekspor minyak mentah kelapa sawit yang mana nilai ekonomi yang rendah, tetapi mampu mengolah minyak kelapa sawit dalam bentuk produk-produk lainnya, dengan nilai ekonomi yang tinggi. Selain itu, untuk mendongkrak harga minyak sawit mentah dengan mengimplementasikan pemakaian B20 dengan program tersebut dapat menyerap minyak sawit domestic. (***)

Penulis adalah mahasiswi adm Keuangan Perbakan Universitas Indonesia

Baca Juga
Tinggalkan komen