Berita Nasional dan Lokal #KitoNian

Jelajahi Museum Provinsi Bengkulu: Kaya Sejarah, tapi Sepi Pengunjung

Langkah kaki dua anak perempuan berusia sekitar lima tahun yang diikuti oleh ayahnya menggema di ruangan Museum Provinsi Bengkulu. Hari itu adalah tanggal 11 Oktober 2019, tepatnya sehari sebelum Hari Museum Indonesia. Menggemanya langkah kaki ketiga pengunjung yang baru masuk itu menunjukkan betapa sepinya ruangan museum. Horor, itu kataku dalam hati.

Aku mengunjungi museum ini untuk sebuah tugas dari kampus. Sebagai pengunjung museum, aku sedih mengetahui betapa sepinya museum ini. Museum yang seharusnya menjadi sebuah buku bacaan menarik malah ibarat buku lusuh berdebu di pinggiran Kota Bengkulu.

Sesaat setelah aku membayar karcis masuk, aku mencoba untuk mencari tahu info Museum Bengkulu. Dalam salah satu laman website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang aku baca, museum Provinsi Bengkulu merupakan salah satu dari 435 museum di Indonesia yang tercatat oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

IMG 20191019 WA0015
Benda koleksi yang disajikan dibatasi dengan pagar pembatas. foto : Ahmad Surya

Museum ini menyimpan banyak koleksi berharga yang disusun dengan alur penyajian koleksi berdasarkan pembabakan zaman dari masa manusia belum mengenal tulisan hingga masa mengenal tulisan. Di dalam museum ini juga terdapat benda-benda yang dipakai oleh suku yang tersebar di berbagai daerah Bengkulu.

Sayangnya, menurutku benda-benda koleksi museum yang berharga ini tidak ditampilkan sepadan dengan nilai benda-benda itu.
Aku terus berkeliling mengikuti arah jejak telapak kaki hitam yang ditempel di lantai ruangan museum. Jejak telapak kaki itu ternyata ialah alur yang membantu pengunjung untuk melihat isi koleksi museum.

Sambil aku mengamati seisi ruangan dan memandangi setiap benda pameran, terlintas dipikiranku dua pertanyaan. Mengapa museum ini sangat sepi? Mengapa setiap sudut di dekat benda koleksi selalu saja muncul tulisan, “JANGAN DISENTUH”.

Kemasan penyajian pameran Museum Bengkulu dirasa cenderung tidak komunikatif dan ketinggalan jaman. Hal ini membuatku, mungkin juga pengunjung lainnya menjadikan museum sebagai tempat wisata terakhir di hari libur.

Museum seharusnya mengubah cara pandang tentang penyajian koleksi agar dapat mengemas informasi mengenai benda secara lebih komunikatif, mengikuti keinginan kami sebagai masyarakat yang telah memasuki era milenial. Misalnya dengan menggunakan berbagai bentuk penyajian yang melibatkan panca indera kami.

Keaktifan pengunjung yang tidak hanya dibatasi oleh indera penglihatan saja akan membuat kami para pengunjung mengalami banyak kesan terhadap benda-benda yang ditampilkan di museum. Penyajian koleksi berupa replika atau benda koleksi museum tiruan yang dapat disentuh mungkin dapat menjadi salah satu hal yang cukup membuat kami merasa mendapat banyak pengalaman tertentu.

Pengalaman inilah yang membuat kami nanti dapat berbicara banyak kepada orang lain yang belum sempat mengunjungi museum.

Keterlibatan lima panca indera pengunjung ini juga dapat diakali dengan pengemasan koleksi museum secara digital. Kami yang hidup di era jaman now ini secara umum mahir dalam menggunakan teknologi canggih.

Daya konsentrasi kami ini cenderung akan lebih maksimal ketika di depan kami terdapat benda koleksi museum yang dapat disajikan dengan menggunakan teknologi yang canggih pula. Oleh karena itu, museum dirasa perlu melibatkan anak-anak muda atau orang yang pandai mengemas koleksi museum secara digital.

Aku sangat percaya bahwa museum akan bangkit kembali jika museum pintar dalam mengemas benda koleksinya sesuai dengan cara apa yang diinginkan para pengunjung museum. Jika museum mampu membaca keinginan masyarakat, pastinya Museum Provinsi Bengkulu tidak hanya akan ramai pada tanggal 12 Oktober saja.

Dengan demikian, museum pun menjadi buku tak berdebu yang setiap hari akan dibaca dan dipelihara oleh kami, para pengunjung museum.

Penulis    : Gaya Mentari
Jabatan : Dosen Arkeologi IAIN Bengkulu

Baca Juga
Tinggalkan komen